Generasi Z Hadapi Tantangan Dunia Kerja di Era AI


Jakarta, klikwartanews.idPerkembangan pesat teknologi dan kecerdasan buatan (AI) membawa dampak signifikan terhadap pasar tenaga kerja. Data BPS (2024) mengungkapkan bahwa terdapat 7,20 juta pengangguran terbuka, dengan mayoritas pengangguran berusia 15–24 tahun.

Angka pengangguran di kalangan lulusan pendidikan tinggi pun mengalami kenaikan, dari 5,52% pada 2023 menjadi 5,63% pada 2024.

Di tengah situasi ini, sektor formal hanya mampu menyerap sekitar 40% tenaga kerja (sekitar 2 juta orang), sementara sektor informal kini mendominasi dengan 60%.

Ketidakstabilan ini menandai pergeseran mendasar dalam dinamika dunia kerja, yang semakin kompleks seiring kemajuan teknologi.

Generasi Z, yang paling rentan menghadapi ketidakpastian pasar tenaga kerja, kini dituntut untuk lebih adaptif, kreatif, dan memiliki ketahanan mental yang tinggi.

Mereka tak lagi terpaku pada definisi kesuksesan yang identik dengan pekerjaan formal, melainkan mulai membuka peluang melalui bisnis digital dan gig economy.

Dalam seminar “From Vision to Reality: Empowering Creative Minds to Solve Global Challenges” yang digelar oleh BUNDlife bekerja sama dengan Prodi Komunikasi Universitas Pertamina (UPER) pada 31 Januari lalu, beberapa narasumber berbagi pandangan penting.

Psikolog klinis dan praktisi kesehatan mental, Samanta Elsener, menyoroti nilai kreativitas sebagai aset utama dalam menghadapi era AI.

Sementara itu, Didiet Maulana, desainer sekaligus pengusaha di dunia fashion melalui brand IKAT Indonesia, menceritakan perjalanan kariernya yang penuh eksplorasi, dari arsitektur hingga akhirnya menemukan passion di industri fashion.

Era disrupsi teknologi membuka jalan bagi pola pikir baru. “Perjalanan saya tidak instan. Dengan mencoba berbagai bidang, saya semakin mengenali diri dan menemukan jalur yang paling sesuai,” ujar Didiet Maulana.

Pengalaman tersebut menggarisbawahi bahwa keberanian untuk bereksperimen dan keluar dari zona nyaman adalah kunci untuk menemukan potensi diri.

Di samping itu, World Economic Forum (2024) mencatat bahwa 73% perusahaan kini mengutamakan kemampuan berpikir kreatif dan solutif dalam proses rekrutmen.

Menurut Samanta Elsener, kreativitas bukan hanya soal menciptakan ide, melainkan juga bagaimana mengimplementasikannya untuk mencapai tujuan.

“Membaca autobiografi tokoh inspiratif dapat membantu kita mendapatkan berbagai sudut pandang yang segar,” tambahnya.

Mengatasi FOMO dan Meningkatkan Kepercayaan Diri

Tingginya penggunaan media sosial telah menimbulkan fenomena Fear of Missing Out (FOMO), yang berpotensi mengikis identitas diri. Namun, Samanta Elsener menegaskan bahwa FOMO tidak selamanya berdampak negatif.

Dengan pendekatan yang tepat, rasa takut tertinggal tersebut dapat diubah menjadi motivasi untuk terus belajar dan berkembang.

“Kita tidak berlomba untuk mengalahkan orang lain, melainkan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri,” ujarnya.

Didiet Maulana juga menekankan pentingnya mengenali minat serta potensi diri. “Temukan apa yang benar-benar membuat kita bahagia dan gunakan itu sebagai pijakan untuk terus berkembang,” sambungnya.

Acara seminar yang melibatkan peserta dari berbagai disiplin ilmu ini menjadi momentum bagi generasi muda untuk menggali potensi dan membangun pola pikir positif di era digital.

Diskusi mendalam antara psikolog dan praktisi industri mengenai kesehatan mental, pengelolaan stres, dan dampak media sosial diharapkan dapat membekali peserta dengan keterampilan untuk menghadapi tantangan. 

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama
SPONSOR
KLIK WARTA NEWS