Tulungagung, klikwartanews.id – Proyek pembangunan box culvert di Desa Kauman yang seharusnya dikelola secara swakelola malah diserahkan kepada pihak ketiga tanpa proses yang jelas. Hal ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat GAKI, (Gerakan Anti Korupsi Independent)yang mendesak adanya transparansi dan audit terhadap proyek tersebut.
Ketua LSM GAKI (Gerakan Anti Korupsi Independent), Trianto, menilai bahwa perubahan sistem kerja dari swakelola menjadi pihak ketiga berpotensi melanggar aturan dan merugikan masyarakat.
"Proyek bantuan keuangan desa seharusnya dikelola secara swakelola agar masyarakat desa bisa berpartisipasi dan mendapatkan manfaat ekonomi. Jika tiba-tiba dialihkan ke pihak ketiga tanpa alasan yang jelas, ini patut dipertanyakan. Bisa jadi ada unsur kepentingan atau bahkan dugaan penyimpangan anggaran," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa tindakan ini bertentangan dengan prinsip tata kelola keuangan desa yang transparan dan akuntabel. Selain itu, jika proyek ini dilakukan oleh pihak ketiga tanpa proses lelang yang terbuka, maka ada indikasi pelanggaran hukum.
"Kami mendesak pemerintah daerah, inspektorat, dan aparat penegak hukum untuk turun tangan. Jangan sampai anggaran negara yang seharusnya untuk kesejahteraan masyarakat malah disalahgunakan," tegasnya.
Aturan yang Dilanggar dalam Proyek Box Culvert
Berikut beberapa regulasi yang berpotensi dilanggar dalam kasus ini:
Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Pasal 3 menekankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan persaingan sehat. Jika proyek ini diserahkan ke pihak ketiga tanpa mekanisme yang jelas, ada indikasi pelanggaran terhadap asas pengadaan barang dan jasa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa penggunaan dana desa harus dilakukan secara swakelola dan melibatkan masyarakat. Pengalihan proyek ke pihak ketiga tanpa alasan yang sah bertentangan dengan regulasi ini.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (jo. UU No. 20 Tahun 2001)
Pasal 3 menyatakan bahwa penyalahgunaan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara bisa dikenakan pidana. Jika terbukti ada unsur penyimpangan dalam proyek ini, maka bisa masuk kategori tindak pidana korupsi.
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pasal 72 menegaskan bahwa keuangan desa, termasuk bantuan dari pemerintah daerah, harus digunakan dengan transparansi dan tanggung jawab. Jika ada pengalihan proyek tanpa prosedur yang sah, maka ini bisa dianggap pelanggaran administratif atau bahkan tindak pidana.
Desakan Audit dan Tindakan Hukum LSM IMI meminta agar pihak inspektorat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan aparat penegak hukum segera turun tangan untuk melakukan audit dan investigasi terkait proyek ini.
"Kami tidak ingin kejadian ini menjadi preseden buruk bagi desa-desa lain. Jika ada penyalahgunaan wewenang, pihak yang bertanggung jawab harus diproses sesuai hukum yang berlaku," tutup Tri.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada klarifikasi resmi dari pemerintah desa maupun pihak terkait mengenai alasan perubahan sistem kerja dari swakelola menjadi pihak ketiga. Warga desa berharap ada transparansi dalam pengelolaan anggaran agar tidak terjadi penyalahgunaan yang merugikan masyarakat.
Pewarta: Red