Tulungagung, klikwartanews.id — Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang digagas pemerintah sebagai upaya percepatan sertifikasi tanah bagi masyarakat, ternyata dalam praktiknya masih menyisakan berbagai persoalan. Di sejumlah daerah, khususnya di tingkat desa, ditemukan banyak Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang diduga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri.
SKB 3 Menteri yang mengatur besaran biaya partisipasi masyarakat dalam program PTSL secara tegas membatasi pungutan hanya pada komponen tertentu, seperti biaya patok, materai, dan operasional ringan. Namun, di lapangan, masih sering ditemukan Pokmas yang memungut biaya jauh di atas ketentuan atau bahkan memberlakukan "tarif" sendiri tanpa dasar hukum yang jelas.
Salah satu contoh praktik yang disoroti adalah adanya laporan masyarakat terkait pungutan hingga ratusan ribu rupiah per bidang tanah, yang seharusnya secara aturan hanya dibatasi maksimal Rp150.000 di wilayah Jawa dan Bali.
Ironisnya, pengawasan terhadap pelaksanaan program PTSL di lapangan masih lemah. Banyak Pokmas yang dibentuk hanya sebagai formalitas dan tidak melalui pelatihan atau pendampingan yang memadai. Hal ini memicu potensi penyalahgunaan wewenang dan lemahnya akuntabilitas dalam pengelolaan program.
Hal ini menjadi perhatian serius bagi aktivis masyarakat sipil. Cristian, perwakilan dari lembaga Insight Hunter — gabungan LSM dan media yang fokus pada isu transparansi dan pelayanan publik — menyampaikan kritik keras terhadap lemahnya pengawasan serta pembiaran praktik semacam ini.
“Tujuan awal PTSL adalah memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada masyarakat atas tanah mereka, bukan malah membebani dengan pungutan di luar nalar. Kami menemukan banyak Pokmas yang beroperasi tanpa transparansi, tanpa pelatihan memadai, bahkan terindikasi bekerja sama dengan oknum aparat desa,” ujar Cristian.
Menurutnya, Insight Hunter telah menerima sejumlah laporan masyarakat yang mengaku diminta membayar Rp300.000 hingga Rp500.000 per bidang tanah, dengan berbagai dalih yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Parahnya, laporan-laporan ini kerap tidak ditindaklanjuti secara serius oleh pihak yang berwenang.
“Ini bukan hanya pelanggaran teknis, tapi pelanggaran terhadap kepercayaan publik. Pemerintah harus tegas, bukan hanya memberi imbauan, tapi juga menjatuhkan sanksi administratif hingga pidana jika perlu. Jangan sampai PTSL jadi ajang bancakan elite desa,” tegas Cristian.
Sudah saatnya lembaga terkait seperti Inspektorat Daerah, Ombudsman, hingga Kejaksaan masuk dan mengawal pelaksanaan program ini lebih intensif. Di sisi lain, masyarakat juga perlu terus diberi edukasi soal hak-hak mereka dalam program PTSL, agar tidak mudah dimanipulasi oleh oknum tak bertanggung jawab.
Jika penyimpangan ini terus dibiarkan, maka PTSL hanya akan menjadi simbol kegagalan kebijakan publik — program yang di atas kertas tampak pro-rakyat, tapi di lapangan justru menyuburkan ketidakadilan baru.