Tulungagung, klikwartanews.id – Sejumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Tulungagung kini menerapkan sistem pengamanan dengan menempatkan security atau satuan pengamanan (satpam) di lingkungan sekolah. Namun kebijakan ini justru menimbulkan keluhan dari kalangan jurnalis dan media yang merasa dipersulit saat melakukan peliputan atau koordinasi dengan pihak sekolah.
Para wartawan mengaku sering kali tidak diperbolehkan masuk oleh petugas keamanan dengan alasan belum membuat janji terlebih dahulu dengan kepala sekolah atau humas. Sementara di sisi lain, upaya menghubungi pihak sekolah melalui telepon, pesan singkat, maupun WhatsApp tidak pernah direspons.
Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa pihak lembaga pendidikan seolah menutup diri dari keterbukaan informasi publik, terutama yang berkaitan dengan penggunaan dana dan kegiatan sekolah yang bersumber dari anggaran negara, seperti Dana BOS, BPOPP, atau sumber pendanaan lainnya.
LSM IMI: Kebijakan Sekolah Seperti Ini Tidak Mencerminkan Keterbukaan Publik
Ketua LSM Independen Masyarakat Indonesia (IMI), Topan Kristiantoro, menilai kebijakan sekolah yang membatasi akses media tanpa mekanisme yang jelas adalah bentuk ketertutupan dan kurangnya penghormatan terhadap fungsi kontrol sosial pers.
“Sekolah adalah lembaga publik, bukan lembaga privat. Ketika jurnalis datang untuk konfirmasi, itu bagian dari transparansi dan tanggung jawab moral lembaga terhadap masyarakat. Tapi kalau malah dibentengi satpam outsourcing dan wartawan disuruh janji dulu, ini bisa menimbulkan tanda tanya besar — ada apa sebenarnya yang ditutupi?” tegas Topan.
Menurutnya, penggunaan jasa security dari perusahaan outsourcing (Orsosing) juga perlu dievaluasi. Selain menimbulkan jarak sosial antara sekolah dan masyarakat sekitar, sistem outsourcing dikhawatirkan justru membebani anggaran operasional sekolah.
“Pertanyaannya: gaji security ini dari mana? Apakah dari Dana BOS, dari sumber lain, atau bahkan dari pungutan tidak resmi? Jika pakai BOS, apakah sesuai juknis penggunaannya?” tambahnya.
Lebih Efisien dan Memberdayakan Warga Sekitar
Topan juga menyarankan agar sekolah lebih bijak dalam mengelola kebutuhan keamanan. Alih-alih memakai tenaga outsourcing yang biayanya tinggi, sekolah dapat mempekerjakan warga sekitar atau staf honorer internal dengan sistem yang lebih efisien dan sekaligus memberdayakan lingkungan sosial.
“Daripada dana sekolah keluar untuk perusahaan outsourcing, lebih baik tenaga keamanan diambil dari warga sekitar. Selain lebih murah, juga mempererat hubungan sosial antara sekolah dan masyarakat,” ujarnya.
Menutup Diri dari Publik, Menumbuhkan Kecurigaan
Kebijakan sekolah yang menutup diri dari akses jurnalis dikhawatirkan akan menurunkan kepercayaan publik. Apalagi di era keterbukaan informasi, lembaga pendidikan semestinya menjadi contoh dalam akuntabilitas dan transparansi.
Sejumlah jurnalis di Tulungagung bahkan mengaku sudah mencoba berkoordinasi secara sopan dan administratif, namun tetap ditolak masuk oleh security dengan alasan harus ada izin dari kepala sekolah. Sayangnya, para kepala sekolah yang dihubungi justru tidak pernah memberikan respon, baik untuk klarifikasi maupun wawancara.
Penutup
LSM IMI berharap Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur dan Inspektorat turut meninjau kebijakan penggunaan jasa security outsourcing di lingkungan SMK negeri. Selain menimbulkan kesan menutup diri, langkah tersebut berpotensi menyalahi prinsip efisiensi dan keterbukaan anggaran.
“Sekolah itu harus menjadi contoh keterbukaan, bukan malah jadi benteng yang tertutup dari publik. Jika transparan, tidak perlu takut dengan wartawan atau LSM,” pungkas Topan.


