Oleh: Jildan Adam Zein – Teknik Komputer, Universitas Brawijaya
Bayangkan sebuah lowongan pekerjaan:
“Dibutuhkan seorang profesional dengan keahlian manajemen data, kearsipan, dan pelaporan. Mampu menyusun RPP berlembar-lembar serta mengisi laporan digital tanpa henti. Syarat tambahan: memiliki kemampuan mengajar dan mendidik siswa.”
Jika lowongan itu terdengar seperti deskripsi pekerjaan guru di Indonesia saat ini, Anda tidak salah. Komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 di pilar pendidikan tampaknya menempatkan fokus yang keliru. Guru, yang seharusnya menjadi ujung tombak pembelajaran, justru dibebani peran sebagai administrator.
Laporan Global Report on Teachers yang dirilis UNESCO (2024) menyebutkan bahwa beban administrasi menjadi sumber utama stres bagi guru dan turut menghambat pengembangan sekolah di berbagai negara OECD.
Guru yang seharusnya berperan strategis dalam membentuk pengetahuan dan karakter peserta didik kini menghabiskan banyak waktu untuk mengelola proses administrasi, dokumen, dan tugas non-pengajaran lainnya. Mulai dari penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pelaporan capaian belajar, hingga evaluasi hasil belajar. Akibatnya, banyak waktu guru terbuang hanya untuk memenuhi tuntutan administratif, meningkatkan stres, dan menghambat inovasi dalam pembelajaran.
Kondisi ini diperparah dengan digitalisasi yang belum sepenuhnya ramah bagi guru. Menurut Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru, “PMM telah menjadi momok menakutkan bagi guru. Beban administrasi melalui aplikasi justru makin bertambah.”
Ketika guru dibebani tugas administrasi berlebih, fokus mereka beralih dari peran inti sebagai pendidik. Waktu yang seharusnya digunakan untuk menyiapkan materi pembelajaran berkualitas terpotong oleh pekerjaan klerikal. Situasi ini juga mengganggu keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan (work-life balance).
Hal ini sangat berkebalikan dengan kondisi di Finlandia. Dalam laporan Teaching and Teacher Education (Lutovac dkk., 2024), disebutkan bahwa masyarakat Finlandia menaruh kepercayaan besar pada profesionalisme guru. Mereka dibekali kebebasan luas tanpa tekanan administratif berlebih. Tidak ada sistem inspeksi sekolah yang kaku, dan kesejahteraan guru menjadi faktor utama yang dijaga.
Salah satu contoh nyata beban administratif yang menguras waktu adalah pencatatan kehadiran siswa. Metode tradisional seperti daftar hadir manual sering kali tidak efisien dan rawan kesalahan. Selain menyita waktu, proses ini berisiko kehilangan catatan dan mengurangi efektivitas pembelajaran. Jika diakumulasikan, waktu yang terbuang untuk panggilan absen dan rekapitulasi bulanan dapat menghilangkan kesempatan belajar yang signifikan.
Untuk membebaskan guru dari belenggu administratif, modernisasi sistem melalui teknologi digital dapat menjadi solusi utama. Tujuan digitalisasi adalah menyederhanakan manajemen, meningkatkan akurasi, serta secara signifikan mengurangi beban kerja guru. Teknologi absensi modern, seperti penggunaan QR code atau barcode, menawarkan jalur yang cepat dan efisien. Solusi ini juga hemat biaya dan praktis, sehingga relevan diterapkan di sekolah dengan sumber daya terbatas.
Sebagai contoh inovasi akar rumput, penulis terlibat dalam pengembangan aplikasi absensi digital bernama GADIS, akronim dari Gedangmas 02 Absen Digital Integrasi Sekolah, di SD Negeri Gedangmas 02, Lumajang. Aplikasi ini menggunakan kartu pelajar berbasis barcode yang terintegrasi untuk memodernisasi sistem kehadiran. Implementasi GADIS menunjukkan efisiensi waktu yang signifikan: proses pencatatan harian yang semula memakan 10–15 menit kini selesai kurang dari tiga menit, sedangkan rekapitulasi bulanan yang biasanya memakan waktu 30–40 menit dapat otomatis terselesaikan kurang dari 10 menit.
Inovasi seperti GADIS membuktikan bahwa digitalisasi administrasi bukan sekadar efisiensi data, melainkan investasi langsung pada kualitas pendidikan. Dengan menghilangkan inefisiensi pencatatan manual, kita tidak hanya meningkatkan akurasi laporan, tetapi juga membebaskan guru dari peran administratif. Saat itulah guru dapat kembali menjalankan tugas utamanya: mendidik dan menciptakan generasi penerus yang berkualitas sesuai cita-cita SDG 4.
#SDG4 #PendidikanBerkualitas




